Skip to main content
Hari Esok Perbaikan
Oleh : Ahlul Maghfiroh

Sukkur yang berasal dari keluarga menengah ke atas. Tapi dia menghiraukan pendidikannya. Entah apa penyebab dari semua itu? Pergaulan di sekolahnya sangat bebas. Mereka justru merusak masa depan Sukkur dengan cara mengajaknya bolos, merokok dan racing.
Pada waktu sore Sukkur hanya terdiam di ruang tamu, dengan asyiknya menonton TV dan makan kudapan kacang polong. Perempuan paruh baya di istananya ialah ibu kandungnya. Umi Kulsum namanya. Ia melihat anak semata wayangnya yang sedang duduk di sofa. Umi Kulsum adalah seorang ibu yang sangat sabar, dengan baju syar`i dan kerudung panjang yang mencapai pahanya mencerminkan  karakternya.
Tepat di samping Sukkur. Dia tidak sadar bahwa ibu mendampinginya. Dia sangat fokus ke arah TV yang ditontonnya acara sepak bola, sehingga ibu yang mengucapkan salam pun ia hiraukan. Berkali–kali ibu itu tetap mengucapkan salam namun tak ada jawaban.
            “Nak menjawab salam itu wajib!” Umi kulsum menasehatinya.
Tetapi tidak sedikitpun ucapan ibunya didengarnya. Terpaksa ia mengambil kacang polong di hadapannya .
            “Yo ayo sedikit lagi! Serong kiri itu. Yaaahhh kan obset jadinya.”
Seruannya dengan lantang. Seakan–akan ia menjadi pengarah dan pelatih pemain bola. Menuduh ibunya perusak tidak masuknya bola ke dalam gawang dan mengganggu konsentrasi Sukkur nonton.
            Setelah lulus dari bangku sekolah menengah pertama, Umi Kulsum memutuskan untuk memasukkannya ke Pesantren.
            “Ibu! Yang bener aja. Masa iya aku masuk pesantren hanya karena ikut racing.  Yang pentingkan aku tetap sholat walaupun bolong–bolong!” Gerutunya mendengar keputusan ibunya, karena ia mengira jika dia mondok, dia tidak akan bisa tampil modis dan keren.
Sukkur terus berpikir. Kebingungan apa yang akan dibuat alasan agar tidak mondok di pesantren yang ia anggap jadul. Ayahnya juga menyetujui keputusan ibunya .
            Please, Yah! Jangan masukin aku ke Pesantren. Aku janji nggak nakal, nggak bolos dan nggak ikut racing lagi.” Rayunya dengan bersimpuh di hadapan ayah ibunya.
“Ayah tidak akan memberikan kesempatan jika kamu tidak menuruti ketentuan kita berdua. Motor dan HP, ayah sita! Tidak boleh keluar rumah tanpa ada tugas atau ada acara dari pihak sekolah. Apabila kamu tetap sekolah di luar.” Ayahnya bersikukuh untuk tetap pada pendiriannya. Abdullah, Wataknya memang sangat tegas dan disiplin. Mereka menginginkan hal seperti itu agar ada penerus generasi islam lebih maju.
            Ayah dan ibunya hanya diam membisu . Seketika itu suasananya hening tanpa ada suara jangkrik sekalipun. Tiba–tiba ada suara malaikat perempuan tak bersayap yang tak pernah ia duga kehadirannya sehingga memecahkan keheningan malamnya .

            “Dengarkan ibu nak, ayah dan ibu memondokkan kamu itu agar akhlakmu baik, kamu bisa menjadi pemimpin yang baik dan bertanggung jawab. Apabila nanti kita ini sudah tiada dijemput oleh malaikat izrail menuju sang pencipta (Allah SWT) agar kamu bisa mendoakan kami nak. Hanya itu yang kita harapkan dari kami. Kamulah anak semata wayang dan kebanggaan kami.”
Umi kulsum sengaja berbicara seperti itu, perkataan keluar dari lubuk hatinya sambil mengelus pucuk kepala Sukkur dan berharap agar bisa tenang berpikir luas, terbuka hatinya serta menyetujui keputusan orang tuanya.

            Rasa haru, gundah, kacau tidak karuan berkerumun di kepalanya. Tetes demi tetes terus berjatuhan dari bola matanya yang berbinar–binar. Umi Kulsum hanya tertunduk diam seribu kata. Sukkur mengherankan perkataan Umi Kulsum sudah dijemput malaikat menghadap Allah. Apa maksud dari mereka berbicara seperti itu. Selang beberapa waktu ia mendapat hidayah.
            “Keputusan ayah dan ibu memanglah benar. Bodohnya aku membuat susah kalian, merepotkan kalian dan membuat kalian kecewa. Aku harus bisa membahagiakan mereka.” Seruan dalam hatinya.
Setelah ia berpikir secara matang–matang ia mengatakan sesuatu pada orang tuanya.
            “Ayah ibu aku mau mondok ke pesantren.”
Ucapan yang terlontar seketika itu dari lisan Sukkur seperti busur yang bisa memanah tepat pada sasaran hati Umi Kulsum dan Abdullah.

            Kereta bermotor mulai menyalakan mesinnya, dengan membawa ratu, raja dan pangeran menuju asrama dimana santri belajar agama. Kereta itu melaju sangat cepat. Lampu lalu lintas yang dilaluinya selalu berwarna hijau.
Kini yang pada awal berangkat dimulai ayam berkokok sampai ayam-ayam lainnya beraktivitas mencari sandang dan pangan untuk anak-anaknya. Begitu  pula jalan raya sangat ramai dengan mobil-mobil yang berlalu lalang di setiap waktunya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Di setiap sudut kotapun banyak pedagang kaki lima yang mana tidak pernah mereka berhenti walaupun hanya untuk sekedar minum Es cincau.
     “Ayah ini gimana cara pakai sarungnya? dari tadi jatuh terus gak bisa erat.”
     “Lipat sarung dari sisi kiri dulu, lalu disusul sisi kanan kemudian digulung ditengah-tengahnya seperti lemper !”
     “Apa tidak ada cara lain yah? Ribet banget sih yah. Tau gitu aku tadi pakai celana jeans aja yah.”
     “Kamu itu mau mondok ke Pesantren apa mau ke mall sih?”
     “sudah diam saja nak, turuti perkataan ayahmu. Jangan buat gaduh yang bisa membuat pak supir terganggu dengan ulah kalian!” Jawab umi kulsum, karena sudah bosan mendengar mereka ribut.

            Sampailah keluarga kerajaan di Pesantren. Sukkur takjub melihat masjid besar berkubah biru yang nampak dari luar area Pondok Pesantren .
            “Wowww. Bagus sekali Masjid dan kubahnya. Tempatnya luas banget, jadi enak bisa main bola di lapangan sini.” Kegirangan yang ia rasakan, walaupun tidak tahu kegiatan-kegiatan yang telah ditetapkan oleh pihak madrasah. Dia hanya mengerti bahwa di Pondok kegiatan sehari-harinya hanya sholat dan mengaji al-qur’an saja.
            Pesantren Assalafi Al-fithrah,pondok yang ditujukan pada Sukkur untuk menuntut ilmu agama lebih dalam lagi. Dimana Pesantren itu identik dengan warna putih yang bermakna kesuciannya, sesuai dengan nama Pondoknya. Sukkur terkejut karena ia baru pertama kali melihat masjid serba warna putih kecuali kubah yang berwarna biru di atasnya, dan tanpa pintu di setiap sisinya. Konon katanya Masjid itu di rancang sendiri oleh KH.Ahmad Asrori Al-Ishaqi R.A yakni pendiri Pondok ini tanpa bantuan dari arsitek. Beliau sengaja merancang bangunan masjid dan asrama sedemikian rupa, agar santri-santri yang belajar dan mengabdi di Pondok bisa membersihkannya dengan gotong royong, karena mudah dimasuki debu atau kotoran yang betebaran menyentuh lantai. Begitu juga bagi santri ataupun jamaah yang membersihkan akan mendapatkan pahala. Pada intinya Beliau ingin bersama-sama mendapatkan pahala dan ridho dari guru.

            Registrasi pendaftaran yang dilakukan oleh orang tuanya telah selesai.
            “Anak bapak dan ibu kini sudah resmi menjadi santri pondok Al-Fithrah ini. Kami berharap bapak dan ibu bisa memasrahkan putranya pada kami.” Kata salah satu Ustad yang bertanggung jawab atas penerimaan santri baru. Seraya berjabatan tangan dengan Abdullah selaku ayahnya Sukkur.
Sukkur keasyikan bermain handphone genggamnya. Ia membuka facebook dan menulis status di akunnya. Teman-teman selamat tinggal ya. Aku pergi mondok dulu, nanti kalau aku sudah liburan aku akan pulang kembali racing dan bersholawat keliling.
Umi kulsum menghampiri Sukkur dan memberikan semangat dan nasehat kepada anak kesayangaannya.
            “Enggak ibu. Aku tidak mau mondok. Aku pulang saja, nanti kalau aku gak ngaji ustad akan mukul aku bu. Ayo pulang.” Gerutu Sukkur dengan menarik-narik tangan ibunya untuk segera pulang.
            Cekrik cekrik.
Bunyi itu mengganggu pembicaraan Umi kulsum. Umi kulsum kembali ingat dengan Abdullah suaminya yang selama ini tidak ada di sampingnya. Mencari kesana kemari, ternyata Abdullah berada di masjid.
            “Lihat itu ayahmu sedang berdzikir di masjid. Jadilah seperti ayahmu.”
            “Enggak ibu. Ibu tidak tahu apa yang sebenarnya ayah lakukan di masjid sana bu.”
            “Lihat itu bu, ayah sedang asyik selfi-selfi.” Sambil menunjukkan tangannya menuju apa yang Sukkur lihat.
            “Ayah kok malah nyontohin yang tidak bener sih pada anaknya sendiri. ” Gumam Umi kulsum, sambil menjewer telinga ayahnya .
            “Iya iya bu maaf. Selagi ada disini bu sekalian ambil gambar. Coba ibu lihat deh hasil gambar yang ayah ambil, hasilnya bagus bu.” Abdullah merayu istrinya.
            “Huuu bagus sekali yah. Coba ibu selfi sama ayah .” Umi kulsum tertipu dengan rayuan suaminya, sehingga membuatnya lupa dengan Sukkur.
            “Nih bu. Cantik’kan hasilnya bu.”     
            “Waw iya yah. Cantik banget ibu yah. Sehingga jerawat ganas ibu gak kelihatan. Pakek kamera apa ini yah? ”
            “Iya dong bu. ayah download kamera B612.”
Mereka berdua lupa dengan anaknya.

***

          Tiba saatnya Sukkur bermukim di Pondok. Tanpa ada orang tua dan dayang-dayang yang melayaninya. Ia merasa asing di Asrama. Senggang waktu teman-teman di asramanya banyak yang mendekati dan mencoba berkenalan dengannya  tanpa ia duga. Ketika jam tiga pagi, Santri harus bangun untuk membersihkan kamarnya dan melakukan sholat shubuh. Namun mereka masih tenggelam dalam lautan mimpinya. Tiba-tiba suara yang mengejutkan merusak dunia mimpi mereka.
            Jeddar. Jeddarrrrr.
Entah itu suara apa yang terdengar sampai ke Plosok suci ini. Apakah suara dari hewan aneh dari dalam bumi ataukan makhluk astral ?. Ternyata bukanlah  bunyi semacam itu, melainkan Satpol PP yang melaksanakan tugasnya dan melempar bom kecil ke arah kamar mereka, untuk membangunkan santri .
            “Bangun-bangun. Ayo sholat shubuh dulu. ” Serontak Satpol PP.
Santri menghiraukannya. Mereka sengaja tetap tidur. Pada akhirnya Satpol PP melakukan tindakan lain, dengan cara memanggil Pemadam Kebakaran untuk menyemprotkan air es pada santri yang masih tertidur.
            “Berrrrrrr haduuuuuuuu dingiiinnnn.” Sukkur keluar dari mimpinya. Melihat Satpol PP yang berdiri tegak dengan wajah seramnya, sehingga membuatnya langsung berdiri mengangkat tangan kanannya ke arah depan dahinya sambil memekarkan lima jarinya kecuali ibu jarinya.  Kemudian disusul oleh teman –teman lainnya seperti mengikuti acara proklamasi.
Hal seperti itu terus menerus dilakukannya. Begitu pula Satpol PP.

            Sukkur memiliki dua sahabat karibnya di Pondok. Thohir dan shodiq namanya. Kemana, dimana, melakukan apa saja mereka selalu bersama. Teman-teman menyebutnya tiga semprul. Pada waktu sholat shubuh adzan berkumandang, mereka masih saja santai di depan Toilet dan merekapun tertidur di luar Toilet.
Tanpa sepengetahuan mereka, ustad Hasan santri yang hendak berwudhu ataupun mandi. Beliau melihat ke arah mereka dan menghampiri dari arah belakang mereka.
            Sssstttttt.
Pertanda tidak boleh ramai, yang sengaja di tujukan pada santri yang mengantri giliran berwudhu. Mengajak salah satu dari mereka untuk membawa air satu gayung, lalu menyergap tiga semprul.
            “Ampun-ampun aku tidak mencuri . ” Serontak mereka bertiga. Hahahaha wkwkwkwk. Santri yang melihatnya menertawakan dengan suara yang meledak-ledak  karena rasa hina bahagia, sehingga membuat tiga semprul itu bengong. Menganga.
            “Sana wudlu!! Malah pindah tidur. Enaknya yang lainnya pada ngantri terburu-buru mau sholat kalian masih asyik-asyikan tidur. Mau di akhirat disiksa ? ”Ucap ustad hasan dengan suara lantangnya.
            “Jahat sekali ustad itu. Santai aja dong pokoknya dilakukan!” Sahut Thohir termasuk dari salah satu dari tiga semprul.

            Toilet sepi seperti kuburan, penyebabnya karena ulah mereka.
            “Ini mana gayungnya ? ”. Ucap Sukkur.
            “Nggak ada ya? ” Jawab Sodiq.
            “Lah, terus pakai apa mandinya? ”. Sukkur kebingungan untuk mandi, akhirnya salah satu dari mereka mendapatkan ide.
            “Sebentar ya. Aku cari sesuatu. ” Kata Thohir.
            “Nah ini dia. Jreng jeng jeng. Toples serba guna. ” Thohir menemukan toples bekas sebagai pengganti dari gayung.
            “Ayo mandi bareng-bareng. Yeay. ” Sahut Sukkur senang.
Sodiq mencari ide agar bisa seperti Thohir.
            “Ini kayaknya bisa dibuat gayung. Aku gunting dulu ya atas botol ini. ”
Sodiq menemukan botol aqua berukuran dua liter yang diguntingnya.
            “Kereatif kamu diq! ” Sukkur menertawakan hasil karya Sodiq.

            Tiga semprul itu mengantri nasi talaman, sebagai sarapan mereka. Antrian sepanjang dua meter menuju kantin makan. Talaman merupakan dulang tidak berkaki yang biasa santri Al Fithrah digunakan untuk makan yang disediakan oleh pihak pondok. Dengan keterbatasan lauk mereka tidak kebagian, namun mereka akhirnya mencari jalan keluar membeli mie instan.
            “ Ini gimana mienya? nggak ada air panas. ” Ujar Sodiq.
            “Kayaknya air biasa juga bisa.” Sukkur menyatakan rancangan dipikirannya.
Mereka menunggu tujuh menit lebih lama daripada seperti biasanya, kemudian ia bertiga segera menyantapnya dengan alas kantong plastik hitam.

            Koreksian kitab dimulai. Hal seperti ini biasa dilakukan sebelum menjelang ujian sebagai syarat ketentuan.
            “Haduuuuuuhh. Sekarang koreksian, gimana ini? habis nanti aku ini pasti dimarahin Ustad Samuji. ” Sukkur merasakan resah, karena ia lupa memperbaiki makna-makna kitab.
“Udah nyantai aja. Ustad Samuji tidak masuk Ayo nyanyi-nyanyi aja. ” Thohir membujuk Sukkur tujuannya hanya untuk menenangkan hatinya. Padahal ia tidak tahu kebenaran Ustad Samuji berada .
Thohir mengambil galon kosong kemudian ditabuhnya, sebagai alat music pengganti dari drum . Dug. Dug tek dug. Dug tek.
Sukkur maju di hadapan teman-temannya menyanyikan nadhoman alfiyah karya Imam Ibnu Malik versi jaran goyang. Mereka berdua pandai membujuk teman-temannya agar mau mengikuti apa yang mereka lakukan.
            “Assalamu`alaikum. ”
Suara itu membuyarkan konser Thohir dan kawan-kawannya. Mereka langsung diam tanpa ada suara galon yang didendangkan Thohir serta suara Sukkur yang serak-serak becek. Suara itu tidak asing lagi yakni berasal dari Ustad Samuji yang sedang memasuki kelas, tepat di tepi pintu. Beliau berdehem untuk menghentikan alunan nadhoman yang mereka nyanyikan.
            “Afwan ya Ustadz.”  Ucap Sukkur menundukkan kepala karena kehadirannya.
            “Katamu tadi Ustadnya nggak masuk, kok malah masuk. Gimana sih? ” Jengkel Sukkur.
            “Aku nggak tahu. Kataku beliau nggak masuk. Ya kamu saja terlalu percaya sama omonganku.” Sahut Thohir, memojokkan Sukkur sehingga membuatnya terdiam membisu.
            “Terus ini gimana, kitabku? ” Kata Sukkur.
            “Udah gampang. Beri makna lirik lagu jaran goyang. Ustadnya nggak akan suruh baca. ” Thohir masih saja memberikan ide yang jelek, mereka sudah tahu sikap Ustad Samuji bahwa beliau sangatlah tegas, disiplin dan teliti.
و اعلم ان ذبح الحيوان البرى المقدور عليه بقطع كل حلقوم
Pada lafadz itu Ustad Samuji menyuruh Sukkur membaca dan maknanya pun menggunakan lirik jaran goyang. Teman kelasnya yang mendengarkan tertawa terbahak-bahak dan mengejeknya. Ustad Samuji hanya terdiam menatap tajam keberadaan Sukkur.
            “Maaf Ustad saya waktu pelajaran ini tidur. ” Sukkur malu ia sangat bersalah. Segera ia mengambil tangan kanan Ustadnya lalu diciumnya sebagai tanda maaf dan meminta ridho pada sang guru.

            Tooooong Seeeenng .
Gong berbunyi biasa dilakukan oleh satgas. Benda itu akan dipukul ketika jam masuk, pergantian jam pelajaran, istirahat, dan pulang sekolah. Pada saat itu menunjukkan pukul Sembilan bahwasanya santri berakhir belajarnya dan guru menghentikan mengajarnya.
            “Ayo ke kantin kur !! ” Ajak Sodiq.
            “Iya aku laper nih. ” Sahut Thohir.
Mereka menikmati waktu istirahatnya. Shodiq dan Thohir tidak memakai sandal, sedangkan Sukkur tidak seperti mereka ia terbiasa memakai sandal. Di kelas sebelah Ustad Akbar yang masih berada di dalam.
            “Ayo kur buruan kamu masih nungguin apaan? ” Keresahan yang Thohir rasakan dengan menyatukan dua alis yang menjadi satu menghadak ke arah Sukkur .
            “Ini loh aku gak punya sandal, jijik kalau gak pakai sandal itu. ”
            “Ituloh ada sandal di depan kelas sebelah kamu pakai aja!”  Thohir memberi saran yang jelek. Padahal dirinya tau bahwa barang itu milik ustad Akbar.
            “Ok ok.” Akhirnya Sukkur mengikuti pendapat sahabatnya.
Kemudian tiga semprul itu cabut dari kelasnya, tidak jauh dari tempat itu ia berjalan beberapa langkah ustad Akbar keluar dari kelas yang diajarinya.
            “ Ini mana sandalku.? Baru saja kemaren beli sudah hilang. Haduh, menyusahkan.” Gerutu Ustad Akbar.
Beliau melihat ke arah kanan. Ustad melihat sandalnya dipakai oleh santri, lau ustad akbar membuntuti mereka dari belakang. Tiga semprul itu asyik berjalan dengan candaan yang dibuatnya.
            “Dijaga ya sandal saya, itu sandal bermerk eiger, baru beli semalem dan harganya mahal.” Ustad Akbar membisikkan ke telinga sukkur, sehingga membuatnya menghentikan langkahnya dan sahabatnya meninggalkannya. Mereka tidak sadar jika Sukkur menghilang.
            “Sepertinya aku mengenal suara ini.” Batin Sukkur.
Pelan-pelan ia menoleh ke belakang. Sukkur menganga terkejut seperti melihat pocong yang mengikutinya. Ustad Akbar menjewer telinganya.
            “Afwan ustad ustad. Saya tidak tau ini sandalnya ustad.” Sukkur meminta maaf.
            “Oke saya maafin, lain kali gak boleh ghosob sandal lagi karna hukumnya haram.”
            “Saya kan pinjem ustad gak ghosob.”
            “Kapan yang izin ke saya?”
            “Tadi ustad. Tapi ustad tidak mendengarkannya kelamaan nunggu ustad jawab saya pakai saja sandal ini.”
            “Itu namanya ghosob Sukkur  Wijayanto.”
            “Saya kan niatnya pinjam ustad, bukannya katanya ustad segala sesuatu tergantung pada niatnya.”
Ustad Akbar adalah guru yang mengajar hadist.
            “Iya saya tau, tapi ini tetap dinamakan ghosob.” Ustad akbar semakin naik darah, dan menarik telinga Sukkur lebih sakit.
            “Ampun ustad ampun.” Jerit Sukkur kesakitan.
            “Jangan diulangi lagi ya!”
            “Iya ustad.”
Sukkur jerah dengan kejadian itu. Kejadian tadi lebih membuatnya membuang tenaga. Akhirnya ia mengambil sajadah di kamar asramanya, sebagai kendaraan  menuju kantin menyusul sahabatnya yang terlebih dahulu telah sampai di lokasi. Entah mengapa sajadah itu ia gunakan untuk berkendara melainkan bukan transportasi pada umumnya? Padahal ini bukan hidup di dunia dongeng. Perlahan-lahan ia membayangkan seperti Aladin yang menemui Jasmine kekasihnya.
Memejamkan matanya dan menaiki sajadah yang telah terpapar di depannya. Dia terbang menuju kantin makanan di sekolah pondoknya.


            Liburan sekolah adalah sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu oleh pelajar. Apalagi jika liburannya tepat pada akhir tahun. Santri baru di pondok merasa liburan di akhir tahun ini ia bisa bebas melakukan sesuatu.
Akhirnya Sukkur, Shodiq, dan Thohir berencana untuk mewarnai rambutnya.  Sukkur sudah terbiasa dengan hal itu di luar pondok dulu semasa duduk di bangku sekolah menengah pertamanya. Shodiq dan Thohir mengikuti rencana dari sahabatnya.
            “Warna apa ini yang keren?” Sukkur meminta pendapat pada mereka.
            “Warna blaching aja gimana?”
            “Sip sip bagus itu.” Shodiq pun menyetujuinya .
Akhirnya mereka resmi menyemir rambutnya .
            “kalau kita bermain bola di lapangan, gimana kalau ketahuan Ustad Juned?” Keluh Shodiq.
Ustad Juned ialah wakil kepala pondok dan menjadi tukang potong rambut gratis bagi santri yang melanggar peraturan pondok yang telah ditetapkan.
            “kan pakai peci putih. Gak akan kelihatan ustad.” Sahut Sukkur tenang tanpa memikirkan resikonya.
Keesokan harinya tiga semprul bermain bola di tengah lapangan. Bola api hampir tenggelam. Ketika bola itu dilempar dari lawan main, Sukkur menyundul bola tersebut, agar dikuasai oleh timnya. Namun hal tidak terduga terjadi. Bola itu jatuh ke tanah lapangan sedangkan Sukkur sudah fokus untuk menyundulnya. Melainkan kopyah yang dikenakan terlepas dari kepalanya.
Keberadaan Ustad Juned tepat di pinggir lapangan. Beliau melihat jelas warna rambut Sukkur. Beliau pergi mengambil gunting dan kembali ke lapangan untuk mencukur rambut helmi sampai bersih tanpa ada sedikitpun. Ustad Juned memeriksa pemain bola lainya, termasuk sahabatnya Sukkur. Pada akhirnya bukanlah santri yang bermain bola melainkan Tuyul bertaubat.

            Helmi berbeda dengan semula. Ia menggemparkan asrama putra dan menjadi sorotan warga pondok. Dulu ia nakal, akhlaknya tidak di praktekkan seperti makan snack sambil berdiri dan berjalan. Ketika ia di kantin makan pentol, santri-santri lalu lalang di hadapannya. Salah satu diantara mereka, ada Ustad Zakariya selaku kepala sekolah madrasah aliyah. Pandangan Sukkur tertuju pada ustad itu,menghampirinya untuk mengucpkan salam serta mencium punggung tangan kanannya. Tidak lupa Ustad Akbar membalasnya dengan mengelus-elus pundaknya Sukkur, seraya dalam hatinya berdoa “semoga kamu mendapatkan ilmu yang bermanfaat, barokah, akhlakmu lebih baik dan menjadi anak yang sholeh sebagai pemuda penerus islam.

Comments